My Story

Virtual Diary

Creative Blog

Membungkam Trauma: Saat Korban Kekerasan Seksual Dibisukan oleh Stigma

by - Oktober 20, 2024

 

Justitia Avila Veda, salah seorang pendiri Kolektif Advokat untuk Kekerasan Gender (KAKG). Dok: KAKG



“Aku tahu luka ini tak terlihat, tersembunyi di balik senyum yang dipaksakan. Meski suara dan keberanian sering hilang, aku ingin tetap berdiri di sini, menuntut keadilan yang lama kupendam. Rasa takut dan malu mungkin masih melekat, tapi aku berhak atas hidup yang bebas dari bayang-bayang kekerasan. Aku tak ingin menjadi korban selamanya—aku ingin suaraku didengar, agar tak ada lagi yang merasa sendirian dalam kegelapan ini.”


Suara hati ini, mungkin ada di sebagian banyak wanita yang mengalami korban kekerasan seksual baik verbal maupun nonverbal. Suara mereka bukan hanya sekedar korban–mereka adalah suara yang harus didengar. 


Kekerasan seksual di Indonesia sering kali dianggap topik yang tabu untuk dibahas, meskipun hal ini sangat penting untuk disadari oleh masyarakat. Masih ada stigma dan rasa malu yang membuat para korban sulit melapor. Saya mengulik hal ini bahkan dari beberapa sumber. Baik itu dari Komnas Perempuan mengenai laporan tahunan yang mencatat angka kekerasan seksual di Indonesia, termasuk statistik peningkatan kasus kekerasan berbasis gender dan teknologi. Adanya laporan terkait kekerasan berbasis gender online (KBGO) di Indonesia, dengan fokus pada pelecehan dan pemerasan online. Mempelajari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tentang Sumber hukum utama yang diresmikan pada tahun 2022 untuk menangani kasus kekerasan seksual di Indonesia. Bahkan seringkali menyimak cuitan dari KAKG (Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender) yang merupakan organisasi yang memberikan pendampingan hukum bagi korban kekerasan seksual, diinisiasi oleh Justitia Avila Veda. Ditambah laporan berita nasional  tentang beberapa artikel berita mengenai kekerasan seksual di Indonesia dan upaya yang dilakukan oleh pemerintah serta aktivis untuk menangani kasus tersebut. 


Justitia Avila Veda dan KAKG: Memberikan Bantuan Hukum untuk Korban Kekerasan Gender


Sumber foto : SATU Indonesia 


Upaya untuk memberikan dukungan dan bantuan hukum kepada korban semakin berkembang, hingga diakui san mendapatkan penghargaan SATU Indonesia Awards dari Astra. Salah satunya melalui inisiatif yang didirikan oleh Justitia Avila Veda, yaitu Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG).


Pada Juni 2020, Veda memulai langkah berani dengan menawarkan bantuan konsultasi untuk korban kekerasan seksual melalui cuitan di akun Twitternya. 


“Respons publik luar biasa. Dalam 24 jam, ada sekitar 40 aduan via surat elektronik atau e-mail dan beberapa lainnya via pesan langsung (DM) Twitter. Cuitan Veda pun viral,” ucap Veda. 


Tawaran ini mendapat respons positif, menunjukkan betapa besarnya kebutuhan korban untuk mendapatkan pendampingan. Bersama rekan-rekannya, Veda mendirikan KAKG yang memberikan konsultasi online melalui program ‘Sahabat Korban Kekerasan Seksual’, serta pendampingan dalam persidangan bagi klien yang membutuhkan, tidak terbatas pada satu daerah tetapi di seluruh wilayah Indonesia.


Bagi Justitia, setiap perempuan di Indonesia adalah penyintas. Pelecehan dan kekerasan seksual telah menjadi pengalaman pahit yang hampir setiap perempuan rasakan, termasuk dirinya. Ia memahami betapa beratnya menanggung luka itu sendirian. Itulah yang mendorongnya untuk berdiri di sisi para korban—menemani, membela, dan memastikan bahwa mereka tidak berjalan sendirian dalam perjuangan melawan ketidakadilan yang seharusnya tidak mereka alami.


Justitia Avila Veda percaya bahwa bagian dari proses penyembuhan dirinya adalah dengan membantu orang lain. Meski memiliki pengetahuan luas, modal yang cukup, serta koneksi yang kuat, ia mengakui bahwa ketika kekerasan terjadi pada dirinya, bahkan ia pun kesulitan untuk menolong dirinya sendiri. Dalam Bincang Inspiratif, Justitia menekankan betapa pentingnya dukungan bagi korban kekerasan seksual, karena meskipun memiliki sumber daya, seringkali korban merasa terjebak dalam ketidakberdayaan.


“Tidak semua korban kekerasan seksual, tahu opsi untuk menolong dirinya sendiri dalam upaya mencari keadilan,” ujar Veda. 


“Mulai tahun 2019-2020, aku ngetweet. Karena tweet saat itu tidak hanya viral, tapi banyak yang membantu. Ada teman pengacara yang mengontak, DM, mereka kasih tahu pingin membantu juga, kepada teman-temanya menjadi korban,”tutur Veda saat bercerita kepada radio Idola, (20/03) 


Kolektif advokat ini beranggotakan 45 pengacara dan paralegal di seluruh Indonesia. KAKG yang memberikan konsultasi hukum gratis untuk korban pelecehan dan kekerasan berbasis gender (di dalamnya mencangkup kekerasan seksual, kekerasan dalam pacaran, kekerasan dalam rumah tangga dsb). KAKG melakukan pendekatan holistik dalam menangani aduan yaitu turut mengutamakan pemenuhan kebutuhan korban dalam psikis, media sosial dan finansial jika dibutuhkan. KAKG dapat merujukkan korban ke lembaga terkait serta mendampingi korban dalam proses hukum litigasi. 


Justitia Avila Veda, pengacara perempuan yang mendedikasikan dirinya membentuk kolektif advokasi gratis khusus untuk korban pelecehan seksual. (Foto: Dok. Kumparan)


Dalam tahun pertama operasinya pada tahun 2020 s/d 2021, KAKG menerima 150 aduan, dengan sekitar 80% diantaranya merupakan kasus berbasis gender online yaitu kekerasan seksual yang terkait dengan teknologi, seperti revenge porn, pelecehan melalui media sosial, dan pemerasan online. Setidaknya hingga tahun 2023 KAKG telah menerima 465 pengaduan. Jumlah ini terus meningkat. Sampai saat ini sudah ada lebih 100 penerima manfaat. Dari semua penerima manfaat, 4 kasus telah diputuskan di pengadilan. Layanan konsultasi ini dapat diakses melalui media sosial Instagram dan TikTok KAKG, menunjukkan bahwa media digital dapat menjadi sarana penting dalam memberikan bantuan hukum kepada korban kekerasan seksual. Masyarakat umum dapat melakukan pengaduan ke KAKG melalui tautan bit.ly/FormAduanKAKG sementara profil KAKG dapat dilihat melalui Linkedin dan Instagram @advokatgender. 


Bentuk-bentuk KBGO ini meliputi pelecehan seksual secara online, penyebaran foto atau video intim tanpa izin, hingga ancaman pemerasan dengan materi tersebut.


Meskipun angka ini mengkhawatirkan, kenyataannya masih banyak kasus yang tidak dilaporkan karena berbagai alasan, termasuk stigma sosial, ketidakpercayaan pada proses hukum, serta ketakutan akan pembalasan dari pelaku.


“Pencarian keadilan oleh korban itu prosesnya berat. Saya ingin memperluas akses terhadap segala modalitas yang saya punya ke orang-orang membutuhkan,” ujar Veda. 


Justitia Avila Veda percaya bahwa bagian dari proses penyembuhan dirinya adalah dengan membantu orang lain. Meski memiliki pengetahuan luas, modal yang cukup, serta koneksi yang kuat, ia mengakui bahwa ketika kekerasan terjadi pada dirinya, bahkan ia pun kesulitan untuk menolong dirinya sendiri. Dalam Bincang Inspiratif, Justitia menekankan betapa pentingnya dukungan bagi korban kekerasan seksual, karena meskipun memiliki sumber daya, seringkali korban merasa terjebak dalam ketidakberdayaan. Atas kepeduliannya itu, Veda meraih penghargaan SATU Indonesia Awards 2022 bidang kesehatan.


Statistik Kekerasan Seksual di Indonesia Menurut Komnas Perempuan 


Grafik data kekerasan terhadap perempuan berdasarkan laporan Komnas Perempuan 2023 (Dok.pribadi)


Bagaimana bentuk kekerasan terhadap perempuan berkembang di 2023? 


Grafik di atas menunjukkan data kekerasan terhadap perempuan berdasarkan laporan Komnas Perempuan tahun 2023. Kekerasan psikis menjadi bentuk kekerasan yang paling banyak diadukan, dengan 3.498 kasus, diikuti oleh kekerasan fisik (2.081 kasus) dan kekerasan seksual (2.078 kasus). Kekerasan ekonomi tercatat paling sedikit, yakni 762 kasus. Hal ini mencerminkan betapa seriusnya dampak psikologis yang dialami perempuan akibat kekerasan, yang sering kali tersembunyi di balik trauma fisik.


Data ini juga menyoroti pentingnya penanganan kekerasan berbasis gender secara holistik. Tingginya angka kekerasan psikis dan fisik menunjukkan perlunya layanan konseling dan pendampingan bagi para korban. Dengan adanya tren ini, lembaga layanan dan Komnas Perempuan diharapkan dapat memperkuat kapasitas penanganan kasus, termasuk memfasilitasi akses yang lebih luas ke layanan bantuan hukum dan pemulihan bagi para penyintas kekerasan.



Mengapa Korban Kekerasan Seksual Takut untuk Bersuara? 


Memang menyedihkan bahwa banyak korban kekerasan seksual di Indonesia merasa takut untuk berbicara, bukan hanya karena trauma yang mereka alami, tetapi juga karena kekhawatiran akan menjadi sasaran ejekan dan perundungan. Ironisnya, terkadang pelaku ejekan ini datang dari sesama perempuan, yang seharusnya menjadi pelindung dan penyokong solidaritas. Rasa takut ini semakin memperdalam luka yang mereka bawa, membuat mereka memilih diam di tengah kegelapan daripada mengungkapkan kebenaran yang menyakitkan.


Kekerasan seksual sudah menghancurkan fisik dan jiwa mereka, namun ejekan dan cemooh dari masyarakat—termasuk dari sesama perempuan—menambah beban berat yang harus mereka pikul. Korban bukan hanya harus menghadapi pelaku, tetapi juga harus melawan stigma dan persepsi negatif dari lingkungan sekitarnya. Di saat mereka seharusnya mendapatkan dukungan, mereka justru dijadikan bahan tertawaan, dipandang lemah, atau bahkan dianggap sebagai penyebab masalah itu sendiri. Stigma semacam ini mematikan keberanian untuk melawan dan membuat korban merasa semakin terasing.


Padahal, di balik setiap korban ada sebuah cerita yang sarat luka dan ketidakadilan. Mereka membutuhkan ruang aman untuk bersuara, bukan untuk dihakimi. Setiap ejekan yang dilontarkan, setiap cemoohan yang dilemparkan, hanya memperpanjang lingkaran kekerasan yang mereka alami. Saatnya kita menyadari bahwa kekerasan seksual bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah sosial yang membutuhkan kesadaran kolektif kita semua.


Lebih dari itu, alih-alih saling menjatuhkan, kita perlu merangkul, memberikan dukungan, dan menciptakan ruang di mana para korban bisa bicara tanpa takut dihakimi. Kaum perempuan, khususnya, harus berdiri bersama dan saling memperkuat. Di tengah dunia yang sering tidak adil, perempuan perlu menjadi cahaya bagi satu sama lain, bukan bayangan yang menambah gelap.


Saat kita melihat korban kekerasan seksual, kita harus ingat bahwa kekuatan mereka untuk bertahan dan berbicara lebih besar dari yang bisa kita bayangkan. Mereka tidak butuh ejekan atau sindiran, mereka butuh pendengaran, pemahaman, dan pelukan yang tulus dari masyarakat yang peduli.


Dunia ini baru akan berubah ketika kita berhenti mencibir dan mulai membangun solidaritas, ketika kita memilih untuk mendengarkan dengan hati dan memberi ruang bagi mereka yang selama ini terdiam dalam ketakutan. Inilah yang seharusnya menjadi tugas kita bersama—menciptakan dunia di mana tidak ada lagi korban yang harus takut untuk berbicara.


Diskusi bersama mitra, Dok: adv.kompas.id



Upaya Pemeriksaan dan Penanganan Kekerasan Seksual


Upaya pemerintah untuk menangani kasus kekerasan seksual telah mengalami perkembangan positif, meskipun masih banyak tantangan. Pada 2022, Indonesia akhirnya mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang menjadi tonggak penting dalam perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. UU ini memuat ketentuan mengenai tindak pidana kekerasan seksual, mulai dari pelecehan, eksploitasi, hingga kekerasan seksual berbasis teknologi. Selain itu juga memperkuat kerangka hukum untuk melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan seksual. UU ini memberikan ruang bagi korban untuk mendapatkan keadilan lebih mudah, termasuk melalui perlindungan hukum yang lebih komprehensif, pemulihan korban, serta peningkatan akses layanan bantuan hukum.


Proses pemeriksaan kasus kekerasan seksual sering kali rumit dan memakan waktu. Korban perlu melalui pemeriksaan medis dan psikologis untuk mengumpulkan bukti, serta membuat laporan resmi ke pihak berwajib. Salah satu hambatan dalam pemeriksaan kasus ini adalah kurangnya pemahaman aparat penegak hukum tentang sensitivitas kekerasan seksual, yang dapat membuat korban merasa tidak nyaman atau bahkan enggan melanjutkan proses hukum.


Namun, lembaga-lembaga seperti KAKG hadir untuk membantu korban menjalani proses tersebut dengan mendampingi mereka baik secara hukum maupun emosional. Advokat di KAKG memberikan bantuan untuk memastikan hak-hak korban dilindungi, mulai dari memberikan konsultasi hingga mendampingi di persidangan.


Selain itu, dalam menghadapi KBGO yang semakin marak di era digital, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah berkolaborasi dengan lembaga seperti Komnas Perempuan dan pihak swasta untuk memberantas kekerasan di dunia maya. Mereka mengembangkan kebijakan yang mempermudah pelaporan dan penanganan kasus KBGO, serta meningkatkan literasi digital masyarakat agar lebih waspada terhadap bentuk-bentuk kekerasan di ruang siber. Upaya-upaya ini termasuk kampanye edukasi dan program perlindungan khusus bagi perempuan yang rentan menjadi korban KBGO, seperti pelajar, pekerja, dan aktivis.




Solusi dan Hukuman bagi Pelaku


Dengan diberlakukannya UU TPKS, diharapkan penanganan kasus kekerasan seksual dapat menjadi lebih cepat dan adil. UU ini memberikan dasar hukum yang jelas bagi penuntutan pelaku kekerasan seksual, dengan ancaman hukuman yang lebih berat untuk mencegah terjadinya kekerasan. Pelaku bisa dikenai pidana penjara hingga 12 tahun dan denda hingga miliaran rupiah, tergantung pada jenis kekerasan yang dilakukan. Selain itu, UU TPKS juga mengatur tentang perlindungan dan pemulihan bagi korban. Negara wajib menyediakan layanan rehabilitasi bagi korban, baik dari segi fisik, psikologis, maupun sosial, untuk membantu mereka pulih dari trauma yang dialami. Untuk mencegah kekerasan seksual, penting juga adanya upaya pencegahan yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Pendidikan tentang kesetaraan gender, bahaya kekerasan seksual, serta penggunaan media sosial yang aman harus ditingkatkan, khususnya di kalangan generasi muda. Kampanye anti-kekerasan seksual juga perlu diperluas melalui media massa dan sosial, agar kesadaran masyarakat mengenai isu ini meningkat dan korban merasa lebih berani melapor.


Inisiatif seperti KAKG dan undang-undang yang mendukung perlindungan korban kekerasan seksual merupakan langkah awal yang penting. Namun, perjalanan untuk memberantas kekerasan seksual di Indonesia masih panjang. Perlu ada sinergi antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat umum untuk menciptakan lingkungan yang aman dan adil bagi semua orang, terutama bagi korban kekerasan seksual.


Benarkah Ketimpangan Gender di Indonesia Masih Tinggi?


Pada tahun 2023, Indonesia mengalami kenaikan peringkat dalam Global Gender Gap Index, dari peringkat 92 pada tahun 2022 menjadi peringkat 87 dari 146 negara. Meskipun peringkat naik, skor Indonesia tetap di angka 0,697, tidak berubah dari tahun sebelumnya. Penilaian ini mencakup empat bidang utama: pendidikan, kesehatan, partisipasi ekonomi, dan pemberdayaan politik perempuan.


Di bidang pendidikan, Indonesia mencatat skor 0,972, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Di bidang kesehatan, skor juga stabil di angka 0,970. Namun, partisipasi ekonomi mengalami penurunan dengan skor 0,666, dibandingkan 0,674 pada tahun 2022, meskipun masih berada dalam rata-rata global. Pemberdayaan politik perempuan di Indonesia tertinggal jauh di bawah rata-rata global, dengan skor hanya 0,181, meskipun ada peningkatan sebesar 0,012 dari tahun 2022.


Upaya Pemerintah dalam Menghapus Diskriminasi Gender


Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen dalam penghapusan diskriminasi gender. Pada tahun 1984, Indonesia meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang mewajibkan tindakan afirmatif bagi perempuan sebagai bentuk koreksi terhadap ketimpangan relasi gender.


Kemudian, pada tahun 2000, Presiden menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 9 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional (Inpres PUG), yang bertujuan untuk mengintegrasikan perspektif gender dalam perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi kebijakan pembangunan nasional. Inpres ini menginstruksikan setiap kementerian dan lembaga di tingkat pusat dan daerah untuk melaksanakan pengarusutamaan gender.



24 Tahun Inpres Pengarusutamaan Gender: Masih Relevan?


Setelah 24 tahun, Inpres PUG masih dianggap relevan, namun belum cukup kuat untuk sepenuhnya mencapai kesetaraan gender di Indonesia. Inpres ini lebih banyak mengatur gender dalam konteks organisasi pemerintah, namun tantangan di masyarakat secara luas masih menjadi hambatan besar. Pengaruh agama dan adat yang kuat, praktik budaya yang bias gender, serta stigma terhadap perempuan yang memperjuangkan kesetaraan gender adalah beberapa tantangan utama.


Di dalam pemerintahan, hambatan lain termasuk kurangnya pemahaman mengenai konsep gender, belum tersedianya data gender terpilah secara nasional, lemahnya komitmen pimpinan lembaga negara, serta belum tersusunnya regulasi yang komprehensif untuk memastikan kepastian hukum terkait gender.


Justitia Avila Veda dan KAKG: Bantuan Hukum untuk Korban Kekerasan Gender Diakui dalam SATU Indonesia Awards


Justitia Avila Veda, bersama Komunitas Advokasi Kesehatan Gender (KAKG), telah berperan signifikan dalam memberikan bantuan hukum bagi para korban kekerasan berbasis gender. Melalui kerja kerasnya, mereka tidak hanya memberikan dukungan hukum tetapi juga memberdayakan para korban untuk melawan ketidakadilan yang mereka hadapi. KAKG secara konsisten menyediakan ruang bagi korban untuk mendapatkan akses keadilan yang layak, memastikan bahwa hak-hak perempuan dan kelompok rentan lainnya dilindungi. Upaya mereka ini mendapatkan penghargaan melalui SATU Indonesia Awards, sebuah inisiatif yang mengapresiasi individu dan kelompok yang berdedikasi memajukan masyarakat Indonesia. Penghargaan ini menggarisbawahi pentingnya perjuangan melawan kekerasan berbasis gender dan menginspirasi lebih banyak tindakan nyata di seluruh negeri. Penghargaan SATU Indonesia Awards, mendorong perubahan nyata di Indonesia.


Referensi 

https://komnasperempuan.go.id

https://safenet.or.id

https://jdih.setneg.go.id

https://www.instagram.com/kakg

CNN Indonesia, Kompas


You May Also Like

0 komentar