My Story

Virtual Diary

Creative Blog

Dibalik Rimba Menjemput Asa di SDN Atti: Ada Harapan Menggantung di Langit Papua

by - November 02, 2024

 


Setiap perjuangan pendidikan selalu dimulai dengan langkah kecil namun penuh makna. Seperti angin yang membawa wangi garam di pesisir Belitung, perjuangan seorang guru, sering kali tersembunyi dalam cerita sederhana tentang semangat dan ketekunan. Menginspirasi dan membuat gebrakan perubahan. 


Ah, rasanya saya kembali mengingat Novel Laskar Pelangi, salah satu kisah guru sekolah Muhammadiyah yang berjuang agar sekolah di pulau Belitung tidak tutup, karena keterbatasan murid. Pendidikan bukan hanya sekedar mata pelajaran yang tertulis di papan tulis, melainkan sebuah jendela yang membuka dunia bagi anak-anak kampung kecil. Sebab kemiskinan, bukanlah penanda ketidakmampuan. 


Mungkin, kalian juga masih mengingat dialog berikut, “Jika hati kita tulus berada di dekat orang berilmu, kita akan disinari pancaran pencerahan, kepintaran pun sesungguhnya demikian mudah menjalar.”


SDN Atti Papua, sumber: Guru penggerak pedalaman papua


Awal Perjalanan di Kampung Kaibusene


Di pedalaman Papua, Diana Cristiana Da Costa Ati mungkin tidak pernah membayangkan bahwa langkah-langkah kecilnya menuju SDN Atti akan menjadi bagian dari kisah besar pendidikan di Indonesia.

Seorang perempuan kelahiran Timor Leste yang tumbuh besar di Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT), kini berusia 28 tahun, adalah sosok yang tak pernah membayangkan akan menjadi bagian dari kisah pendidikan di pedalaman Papua. Pembuka gerbang wawasan di tengah rimba. Menjadi matahari di ujung Papua. Sejak tahun 2018, ia terlibat dalam Program Guru Penggerak Daerah Terpencil, sebuah inisiatif yang diadakan oleh Bupati Mappi, Kristosimus Yohanes Agawemu, bekerja sama dengan Gugus Tugas Papua dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Keputusan untuk bergabung dengan program ini bukanlah pilihan yang mudah. Diana tidak mengajar di gedung sekolah yang megah atau fasilitas yang lengkap. Namun, sama seperti Bu Mus di Laskar Pelangi, ia memiliki sesuatu yang lebih kuat daripada semua keterbatasan itu: keyakinan bahwa pendidikan adalah jalan menuju perubahan.


Penempatan pertamanya berada di Kampung Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi, yang kini menjadi bagian dari Provinsi Papua Selatan. Sebuah daerah yang dikenal sebagai wilayah 3T—Terdepan, Terluar, dan Tertinggal. Saat pertama kali tiba di Mappi, Papua, Diana dihadapkan pada kenyataan yang jauh dari kehidupan perkotaannya di Atambua. Hutan lebat, jalanan berlumpur yang tak pernah kering, dan sungai yang mengalir deras menjadi pemandangan sehari-hari. Ia tahu bahwa perjuangannya bukanlah tentang dirinya sendiri. Mungkin, akan ada Einstein kecil yang ia temukan disana untuk meraih tangannya. Ia berjuang untuk anak-anak yang duduk di bangku kayu, mata mereka penuh harapan, meski sering kali mereka belum tahu seperti apa dunia di luar hutan Papua. Bagi mereka, setiap kata yang diajarkan Diana adalah kunci menuju mimpi-mimpi yang jauh, mimpi yang dulu hanya ada dalam khayalan. Belum lagi, jarak antar kampung yang hanya bisa ditempuh dengan perahu atau berjalan kaki berjam-jam melintasi hutan. Namun, yang paling menantang bagi Diana bukanlah geografis atau keterbatasan fasilitas, melainkan perbedaan budaya dan kebiasaan masyarakat setempat.


Warga di kampung tempat Diana mengajar memiliki cara hidup yang sederhana. Menggantungkan hidupnya dengan aktivitas tradisional mencerminkan kearifan lokal. Mereka hidup dari hasil alam, bercocok tanam, menangkap ikan dan berburu. Sekolah bukanlah prioritas utama bagi banyak keluarga. Diana seringkali harus berkunjung dari rumah ke rumah, meyakinkan orang tua untuk mengizinkan anak-anak mereka datang ke sekolah. Beberapa bahkan tidak mengerti pentingnya pendidikan, sementara yang lain lebih memilih anak-anak mereka membantu mencari makanan atau bekerja di ladang.


Namun, di balik tantangan tersebut, Diana menemukan sisi lain yang mengharukan. Ketika murid-muridnya akhirnya duduk di bangku kelas, mata mereka bersinar penuh rasa ingin tahu. Mereka mungkin belum terbiasa dengan buku atau tulisan, tetapi semangat belajar mereka begitu tulus. Diana selalu berusaha menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, meskipun hanya dengan papan tulis tua dan beberapa buku yang sudah usang. Setiap kali murid-muridnya berhasil mengeja satu kata atau memahami satu konsep baru, Diana merasakan kebanggaan yang tak terlukiskan.



Dibalik Rimba: Kisah Pengajar Menebar Ilmu di Pedalaman Papua


Pada tahun 2021, Diana memulai babak baru di Sekolah Dasar Negeri Atti. Suka duka sebagai guru di pedalaman sering kali datang bersamaan. Ada hari-hari di mana Diana merasa kesepian, jauh dari keluarga dan teman-teman. Sinyal telepon jarang ada, apalagi akses internet. Namun, ada pula momen-momen yang membuatnya merasa seperti berada di tengah keluarga baru. Masyarakat setempat, meskipun berbeda budaya, menerima Diana dengan hangat. Warga Desa sering mengundangnya untuk makan bersama atau ikut dalam upacara adat, seperti upacara adat syukuran musim panen dan ritual peralihan hidup jika ada yang menikah atau melahirkan. Dari mereka, Diana belajar tentang kekayaan budaya Papua, menghargai perbedaan, dan mengerti makna ketulusan.


Kehidupan Diana dan rekan-rekannya di sana sungguh sederhana. Mereka tinggal di mess yang berada di lingkungan sekolah, berbagi cerita, tantangan, dan tawa di antara keterbatasan fasilitas. Semangat Diana tetap kuat, seolah tak pernah padam, meskipun setiap harinya ia menghadapi kendala geografis dan budaya yang belum sepenuhnya mendukung dunia pendidikan.


Selama bertahun-tahun mengajar di Mappi, Diana tidak hanya mengajarkan membaca, berhitung dan nasionalisme. Ia juga mengajarkan murid-muridnya tentang impian. Ia selalu berkata kepada mereka, "Kalian bisa menjadi apapun yang kalian mau, asalkan kalian mau berusaha dan belajar." Kata-kata itu mungkin sederhana, tetapi bagi anak-anak di pedalaman yang sering kali merasa terisolasi dari dunia luar, itu adalah pesan harapan.


Sebagaimana kutipan dari Andrea Hirata juga membuat saya selalu teringat “Kalau kau datang untuk belajar dengan tersenyum, ilmu akan menyambutmu dengan tertawa.” 


Pada tahun 2022, program yang diikutinya resmi berakhir, tetapi Diana memilih untuk tetap tinggal. Baginya, anak-anak di pedalaman masih membutuhkan sosok guru yang bukan hanya mengajarkan pelajaran, tetapi juga memberi mereka harapan dan inspirasi.


Diana tahu bahwa perjalanan ini masih panjang dan penuh tantangan, tetapi ia telah menemukan panggilannya di sini, di antara suara hutan, tawa anak-anak, dan hati masyarakat yang tulus. Bagi Diana, menjadi guru di pedalaman bukanlah sekadar pekerjaan, melainkan sebuah pengabdian yang mendalam dan berharga.


Anak-anak SD Negeri Atti. Sumber: Guru Penggerak Pedalaman Papua


Mendayung Harapan, Sekolah di Ujung Perjalanan SD Negeri Atti


Perjalanan menuju SD Negeri Atti adalah sebuah pengabdian yang tak hanya menguji fisik, tetapi juga tekad. Dari Merauke, sembilan jam perjalanan menantang harus ditempuh, melintasi udara, darat, hingga sungai yang meliuk-liuk di tengah belantara Papua. SD Negeri Atti berdiri dengan kokoh di tengah alam Papua yang penuh tantangan, dikelilingi ladang-ladang luas, hutan lebat, rawa-rawa, dan aliran sungai yang melintasi bentangan alam pedalaman. Terletak sekitar 1 kilometer dari Kampung Atti, sekolah ini menjadi oase pendidikan bagi anak-anak yang tinggal jauh di pedalaman. Mata air yang melegakan bagi mereka yang haus akan pendidikan. Untuk mencapainya, perjalanan panjang pun harus ditempuh, menguji fisik dan mental. Tak hanya siswa di sana, melainkan juga menggetarkan nurani yang ingin mengabdi di sana.


Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua (Sumber: data peta)

SD Negeri Atti (sumber: Gmaps) 


Dari Kota Merauke ke Ibukota Kabupaten Mappi


Perjalanan dimulai dari Merauke, ibu kota Provinsi Papua Selatan. Dari sini, waktu tempuhnya sekitar 9 jam menuju SDN Atti. Langkah pertama adalah menuju Kepi, ibu kota Kabupaten Mappi di Distrik Obaa. Dengan pesawat ATR, perjalanan udara ini memakan waktu sekitar 1 jam, memberikan sekilas pemandangan alam Papua yang menawan.


Salah satu bentuk perahu ketinting. Sumber: YouTube: JonGawoh


Setelah tiba di Kepi, perjalanan dilanjutkan dengan kendaraan darat selama 2 jam menuju Pelabuhan Agham. Dari pelabuhan inilah, keindahan dan tantangan alam semakin terasa, karena perjalanan harus dilanjutkan dengan perahu Ketinting. Pelabuhan gagah yang terbentang di Distrik Kepi, Kabupaten Mappi sebagai akses utama bagi perjalanan menuju daerah-daerah pedalaman di sekitar sungai Mappi.


Perahu Ketinting merupakan perahu ramping yang terbuat dari kayu berujung runcing untuk mempermudah perjalanan menghalau sungai dan perairan dangkal dengan mesin kecil dibagian belakang. Diana sering kali merasa seolah waktu berhenti saat berada di atas perahu ketinting, menelusuri sungai yang dikelilingi rawa-rawa dan hutan yang sunyi. Setiap riak air, desir angin, dan suara alam menjadi saksi bisu perjuangannya. Diana menyusuri sungai Mappi menuju Kampung Khaumi di Kampung Atti selama kurang lebih 4 jam. Setelah tiba di Kampung Atti, tidak ada lagi transportasi yang tersedia. Para pengunjung harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sekitar 2 jam hingga akhirnya tiba di SDN Atti. Menembus jalan setapak yang dipagari ladang dan pepohonan tinggi, menuju sekolah kecil yang berdiri tenang di tengah keheningan alam diantara hijau rumput dan ilalang. Namun, setiap langkah yang terasa berat terbayar lunas ketika ia melihat senyum polos murid-muridnya, anak-anak yang gigih meski alam seolah ingin memisahkan mereka dari dunia luar. Bagi Diana, SDN Atti bukan hanya tempat mengajar, tapi adalah panggung keajaiban di mana mimpi-mimpi kecil mulai dirajut untuk dapat bersinar terang. 



Alternatif Rute Darat: Petualangan yang Lebih Panjang


Untuk mereka yang memilih jalur darat, perjalanan bisa memakan waktu hingga 23 jam. Dimulai dari Merauke, rute ini membawa perjalanan menuju Asike di Kabupaten Boven Digoel selama 8 jam. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan speed boat menuju Kepi yang memakan waktu sekitar 7 jam. Dari Kepi, rute pun sama: menggunakan kendaraan darat menuju Pelabuhan Agham selama 2 jam, dilanjutkan dengan perahu ketinting menyusuri sungai menuju Kampung Khaumi di Kampung Atti sekitar 4 jam, dan diakhiri dengan berjalan kaki selama 2 jam menuju sekolah.


Sumber: puslapdik.kemdikbud


Sekolah yang Menginspirasi Semangat


SD Negeri Atti bukan hanya sekedar gedung sekolah di pedalaman Papua; ia adalah simbol dedikasi dan perjuangan bagi setiap anak yang datang kesana untuk belajar. Setiap langkah perjalanan menuju SDN Atti menyimpan cerita, menjalin koneksi yang dalam antara alam, pendidikan, dan semangat juang anak-anak Papua.


Di ruang kelas sederhana, ibu guru memandang San Piter dengan penuh perhatian. "Kamu ganti baju kok di sini, kenapa tidak di rumah?" tanyanya dengan lembut, penasaran pada anak didiknya yang datang dalam keadaan lusuh.


San Piter, bocah kecil berwajah polos, menundukkan pandangannya. Dengan suara pelan, ia menjawab, "Kami baru saja dari hutan, Bu Guru."


Seketika hati sang guru tergetar. San Piter dan anak-anak lain di sini, di desa terpencil itu, menempuh jalan berat sekitar 1 jam hanya untuk belajar, berjalan kaki menyusuri jalan setapak diantara pepohonan, menembus dinginnya pagi yang menusuk, dan sering kali menahan lapar. Meski demikian, mereka tetap datang ke sekolah dengan senyum yang tulus dan mata berbinar, seakan setiap perjalanan yang berat itu sepadan dengan ilmu yang mereka dapatkan di ruang kelas ini. Ilmu yang kelak membawa mereka terbang tinggi tanpa batasan. Menjangkau hal-hal yang tak pernah ia bayangkan. 


“Dari 80 siswa ada sekitar 5 orang yang tinggal di hutan, salah satunya adalah San Piter,” ujarnya 


Pendidikan di ruang kelas sederhana ini menjadi lebih dari sekadar mata pelajaran. Pendidikan di sana menjadi harapan, menjadi perjalanan, dan menjadi jembatan yang menghubungkan cita-cita mereka dengan dunia yang lebih luas, penuh kemungkinan.


Harapan dari Tunjangan dan Keterbatasan yang Dihadapinya


Diana yang juga lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Cendana, Kupang, berhak mendapatkan Tunjangan Profesi Guru (TPG) dan Tunjangan Khusus Guru (TKG) sebagai bentuk apresiasi atas dedikasinya di daerah khusus. "Saya merasa berhak mendapatkannya, mengingat kondisi geografis yang sulit dan budaya masyarakat yang belum mendukung proses belajar-mengajar," ujar Diana dengan penuh syukur.


Namun, tunjangan tersebut tidak serta-merta menghilangkan berbagai keterbatasan yang dihadapi. Ketika pertama kali tiba di SDN Atti, Diana mendapati siswa-siswanya datang ke sekolah tanpa seragam dan alas kaki, berjuang menempuh perjalanan jauh dan sulit. Beberapa siswa bahkan membawa pakaian sehari-hari untuk dipakai ke sekolah dan hanya berganti seragam sesampainya di sana.


Sumber: puslapdik.kemdikbud


Pendidikan dengan Sentuhan Kontekstual: Kurikulum Merdeka


Di tengah keterbatasan ini, Diana bersama guru lainnya menerapkan pendekatan unik yang disebut kurikulum kontekstual, yang mengintegrasikan kebiasaan dan budaya lokal. Mereka berupaya untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan melalui pendekatan sosial, bahkan hingga melakukan sosialisasi kepada para orang tua untuk mengubah pola pikir mereka tentang pentingnya pendidikan.


Diana mengakui tantangan ini tidak mudah, karena banyak masyarakat di Mappi yang memiliki cara pandang sederhana, merasa cukup selama kebutuhan pangan mereka terpenuhi, tanpa merasa perlu bekerja keras. Oleh karena itu, metode pengajaran pun disesuaikan dengan pola kehidupan sehari-hari masyarakat, mendekatkan materi pelajaran dengan dunia yang mereka kenal.


Instagram@kemenpora


Seiring Waktu dan Harapan yang Tak Pernah Padam


Diana telah menjadi guru selama tujuh tahun di pedalaman Papua, mengajarkan segala mata pelajaran di kelas 5 dan 6 untuk total 86 siswa dari kelas 1 hingga 6, bersama dua guru lainnya. Walaupun tantangan tak pernah berkurang, Diana tetap bersyukur. Pada tahun 2023, jaringan internet mulai menjangkau sekolah mereka, memberinya akses untuk memperkaya materi ajar dari sumber daring. Internet ibarat cahaya yang menerangi jalan panjang pendidikan. Di era digital. Ibarat pelita yang membuka terang dalam ilmu pengetahuan dalam sekali klik saja, mampu menghubungkan dunia. Membawa kabar paling jauh dari belahan bumi lainnya, menjembatani kesenjangan informasi, dan membentuk generasi yang lebih peka, cerdas, serta siap menghadapi tantangan masa depan. Sebagai cara pembuka jalan. Jalan baru dari impian anak-anak pedalaman SD Negeri Atti. 


Perjuangan Diana mengingatkan kita bahwa menjadi seorang guru bukan hanya tentang mengajar di ruang kelas, tapi juga tentang mendekatkan diri pada masyarakat, beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda, dan berjuang di tengah keterbatasan untuk menciptakan perubahan kecil yang berdampak besar. Perjuangan yang tidak bisa dianggap sepele, sebab pendidikan adalah gerbang kemajuan bangsa dan negara. 


Instagram: @Diana_Christiana_da_costa


Cahaya di Tengah Keterbatasan


Diana duduk di serambi sekolah, memandangi hamparan bukit hijau yang melingkupi desanya. Setiap bulannya, dia menerima Dana Tunjangan Profesi Guru (TPG) dan Tunjangan Khusus Guru (TKG), dana yang sebenarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi para guru. Namun, Diana punya cara pandang lain untuk memanfaatkan dana ini.


Ketika banyak guru di daerah perkotaan memanfaatkannya untuk mengikuti pelatihan atau seminar yang dapat meningkatkan kompetensi mereka, Diana justru memilih untuk membeli buku, perlengkapan sekolah, dan seragam bagi murid-muridnya. Baginya, kebutuhan utama siswa-siswa di pedalaman Papua ini adalah dukungan untuk sekadar bisa belajar.


"Apa gunanya pelatihan kalau anak-anak ini bahkan tak punya buku tulis?" pikirnya.


Sebuah kalimat pertanyaan sederhana yang membuat siapapun mendengarnya akan mulai berpikir panjang. Menyentuh dan mengena. Bagi para pemikir yang memiliki nasionalisme yang tinggi. 


Kegiatan belajar Sekolah Negeri Kampung Atti, Kabupaten Mappi, Papua Selatan bersama guru penggerak daerah terpencil Diana Cristiana Da Costa Ati. Foto: Yusuf Yudo.


Tantangan di Batas Kemampuan


Diana sadar, kesempatan untuk meningkatkan diri sebagai guru sangat penting. Namun, kenyataannya, biaya transportasi yang mahal dan akses yang sulit menjadikannya hampir mustahil baginya untuk mengikuti pelatihan atau seminar yang jauh dari jangkauan. Dia merasa terkurung oleh kondisi alam dan keterbatasan infrastruktur di desanya.


“Belum pernah ikut pelatihan,” jawabnya singkat ketika ditanya.


Kadang, Diana merasa lelah dan ingin menyerah. Namun, setiap kali ia melihat senyum lebar murid-muridnya saat menerima buku baru, tekadnya kembali kuat. Dalam keterbatasan itu, dia menemukan makna dan alasan untuk terus berjuang.


Instagram: @Diana_Christiana_da_costa


Harapan yang Menggantung di Langit Papua


Dalam diam, Diana menyimpan harapan besar. Dia ingin suatu hari pemerintah, khususnya Menteri Pendidikan, datang melihat langsung kondisi pendidikan di pedalaman Papua. Di balik hutan dan pegunungan, ada anak-anak yang butuh perhatian, dan ada guru-guru seperti Diana yang berjuang di garis depan pendidikan dengan segala keterbatasan.


"Kurikulum yang ditetapkan pemerintah tidak kontekstual dengan kebutuhan murid-murid di sini. Sistem administrasinya juga menyulitkan, apalagi ditambah dengan minimnya kesejahteraan guru,” katanya, lirih namun tegas.


Di antara rintangan yang menghadang, Diana terus menapaki jalan ini dengan harapan yang tak pernah pudar. Mimpi untuk melihat murid-muridnya mendapatkan akses pendidikan yang lebih baik tetap hidup di hatinya, menjadi bahan bakar bagi semangatnya.


Grafik di atas menunjukkan beberapa indikator peningkatan akses dan kualitas pendidikan di wilayah 3T Papua, termasuk jumlah sekolah baru yang dibutuhkan, ketersediaan transportasi menuju sekolah, tingkat kehadiran guru, dan angka partisipasi sekolah.


Data Statistik Peningkatan Akses dan Kualitas Pendidikan di wilayah 3T Papua


Coba kita sedikit saja melirik bagian lain dalam grafik yang menampilkan data indikator peningkatan akses dan kualitas pendidikan di wilayah 3T Papua. Kebutuhan untuk membangun sekitar 550 sekolah baru menunjukkan kekurangan infrastruktur yang signifikan, terutama di wilayah terpencil. Selain itu, akses transportasi ke sekolah yang hanya mencapai 35% menandakan banyak siswa masih kesulitan menjangkau fasilitas pendidikan. Tingkat kehadiran guru berada di angka 52%, yang mencerminkan tantangan serius dalam memastikan kehadiran guru secara konsisten, khususnya di daerah terpencil. Meski demikian, angka partisipasi sekolah menunjukkan kemajuan di 68%, menggambarkan upaya untuk meningkatkan keterlibatan siswa dalam pendidikan formal. Indikator-indikator ini menunjukkan bahwa meskipun ada kemajuan, masih diperlukan upaya besar untuk mencapai pemerataan akses pendidikan berkualitas di Papua.



Sedangkan grafik di atas menunjukkan distribusi guru di wilayah 3T Papua berdasarkan jenjang pendidikan, di mana sebagian besar guru berada di tingkat Sekolah Dasar (SD) dengan sekitar 1.800 guru, sementara jumlahnya menurun signifikan di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Distribusi ini mencerminkan tantangan utama dalam penyediaan tenaga pengajar di wilayah terpencil, yang cenderung terkonsentrasi di pendidikan dasar, sementara pendidikan menengah dan kejuruan masih mengalami kekurangan guru. Kesenjangan ini menunjukkan perlunya kebijakan tambahan untuk mendorong lebih banyak guru mengajar di tingkat menengah di wilayah 3T Papua, guna meningkatkan akses pendidikan berkualitas di seluruh jenjang.


Sumber: SATU Indonesia Awards 


Lentera Harapan di Pedalaman Peraih penghargaan SATU Indonesia Awards 


Diana adalah simbol lentera yang terus menyala di pedalaman Papua, membagikan ilmunya meski harus menempuh perjalanan panjang dan berliku. Ia adalah inspirasi bagi mereka yang melihat pendidikan sebagai harapan. Meski harus berjuang melintasi hutan dan rawa, Diana yakin bahwa suatu hari nanti, setiap anak di Papua akan memiliki kesempatan yang sama dalam meraih pendidikan yang layak.

Sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 2010, SATU Indonesia Awards telah mengapresiasi banyak pemuda inspiratif yang berkontribusi dalam bidang pendidikan, seperti pendirian sekolah di daerah terpencil, pengembangan metode pembelajaran inovatif, dan program literasi bagi masyarakat kurang mampu. Melalui penghargaan ini, Astra berharap dapat terus mendukung dan memotivasi generasi muda untuk berperan aktif dalam memajukan pendidikan di Indonesia.


Diana adalah bukti nyata bahwa di tengah keterbatasan, masih ada sosok-sosok yang berdedikasi penuh untuk masa depan generasi muda. Mungkin, di suatu hari nanti, impian Diana akan terwujud, dan akan ada lebih banyak dukungan yang datang untuk pendidikan di pelosok Papua.


Iya merupakan salah satu sosok inspiratif peraih SATU Indonesia Awards yang digagas oleh Astra berasal dari Nusa Tenggara Timur, dengan ketulusan dan dedikasinya telah mengabdikan diri untuk kesejahteraan masyarakat di desanya. SATU Indonesia Awards merupakan penghargaan yang diberikan oleh PT Astra International Tbk kepada anak-anak muda Indonesia yang inspiratif dan berkontribusi bagi masyarakat dalam berbagai bidang. Melalui berbagai inisiatif dalam bidang kesehatan dan pendidikan, ia telah membantu meningkatkan kualitas hidup banyak orang di wilayah terpencil tersebut. Diana membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah halangan untuk berbuat baik dan membawa perubahan, menjadi panutan bagi generasi muda yang ingin membuat dampak positif di lingkungan sekitarnya. Layaknya sebagai lentera pembuka jendela dunia paling terang dan menumpuknya ke dalam pemikiran-pemikiran generasi bangsa di pedalaman, yang memiliki mimpi yang sama dengan anak lainnya. Sebuah harapan baru, yang mampu merobek langit gelap, menjadi langit cerah paling biru dari kekuatan ilmu. 


Komitmen Astra dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan Indonesia melalui Inovasi dan Kolaborasi


Astra telah berkomitmen dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia melalui berbagai inisiatif dan program, antara lain:

  • Pendirian Institusi Pendidikan Tinggi Vokasi: Astra mendirikan Politeknik Astra, yang kini dikenal sebagai ASTRAtech, sebuah institusi pendidikan tinggi vokasi yang menawarkan program Diploma 3 dan Diploma 4. ASTRAtech berfokus pada pengembangan teknologi terapan yang relevan dengan industri saat ini dan masa depan. Pada Mei 2023, Astra meresmikan kampus baru ASTRAtech di Cikarang, Jawa Barat, sebagai wujud nyata kontribusi Astra di bidang pendidikan. 
  • Program Beasiswa: Melalui Yayasan Astra Bina Ilmu (YABI), Astra telah memberikan beasiswa kepada lebih dari 900 mahasiswa melalui Program Beasiswa Prestasi Astra. Program ini bertujuan membantu mahasiswa yang membutuhkan dalam menyelesaikan pendidikan tinggi mereka. 
  • Pengembangan Sekolah Binaan: Astra, melalui Yayasan Pendidikan Astra – Michael D. Ruslim (YPA-MDR), membina sekolah-sekolah di daerah prasejahtera. Program ini mencakup peningkatan mutu sekolah, pengembangan kompetensi guru, dan pemberian beasiswa kepada siswa berprestasi. 
  • Festival Pendidikan Astra: Setiap tahun, Astra menyelenggarakan Festival Pendidikan Astra yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan dan mendorong kolaborasi antara dunia pendidikan dan industri. Pada 2023, festival ini mengangkat tema "Masa Depan Pendidikan Berkelanjutan dalam Keberagaman dan Kesetaraan" dan melibatkan berbagai kegiatan seperti Lomba Inovasi Karya Guru (Linkar) ke-10, pelatihan guru, dan pameran pendidikan. 
  • Program 'Guruku Inspirasiku': Astra mengajak masyarakat untuk berbagi kisah inspiratif tentang guru-guru yang telah berperan penting dalam hidup mereka. Setiap kisah yang dibagikan akan diikuti dengan pemberian bantuan berupa sepatu atau tas bagi anak-anak di wilayah prasejahtera, sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan bagi anak-anak Indonesia. 
  • Kolaborasi dengan Pemerintah: Astra bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbud Ristek) serta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas dalam berbagai program pendidikan, termasuk Festival Pendidikan Astra 2021 yang berfokus pada transformasi pendidikan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). 


Melalui berbagai inisiatif tersebut, Astra berupaya berkontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Dengan berbagai program dan inisiatif yang dijalankan, Astra menunjukkan komitmennya dalam mendukung peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Melalui pendidikan berkualitas dan dukungan terhadap siswa dan guru di berbagai daerah, Astra tidak hanya membangun sumber daya manusia yang kompeten, tetapi juga ikut berperan dalam menciptakan masa depan yang lebih cerah dan berkelanjutan bagi generasi mendatang. Langkah-langkah ini membuktikan bahwa peran sektor swasta dalam dunia pendidikan bisa memberikan dampak yang signifikan untuk kemajuan bangsa.



Sumber Artikel 


https://puslapdik.kemdikbud.go.id/perjuangan-diana-cristiana-da-costa-ati-mengajar-di-pedalaman-papua/

https://www.astra.co.id/satu-indonesia-awards

YouTube Bumi Papua (https://www.youtube.com/@bumipapua1440)

https://www.voaindonesia.com/a/jalan-panjang-membangun-sektor-pendidikan-di-papua/5482956.html

https://papua.bps.go.id/id/publication/2024/05/30/fc36c472e5e62f1570498d83/indikator-pendidikan-papua-tahun-2023.html

https://papua.bps.go.id/id/publication/2023/06/05/00c037e8b983d034a1f0166e/indikator-pendidikan-provinsi-papua-tahun-2022.html

https://papua.bps.go.id

https://www.polytechnic.astra.ac.id/astra-resmikan-kampus-baru-astratech-institusi-pendidikan-tinggi-vokasi-untuk-turut-menciptakan-sdm-unggul/

https://republika.co.id/berita/qsl0gb349/astra-gandeng-kemdikbudristek-gelar-festival-pendidikan-2021

https://satuindonesia.com/AstraUntukIndonesiaCerdas/GurukuInspirasiku/Tentang-program

https://pressrelease.kontan.co.id/news/festival-pendidikan-astra-2023-masa-depan-pendidikan-berkelanjutan-dalam-keberagaman

https://www.astra-agro.co.id/pendidikan/

https://www.polytechnic.astra.ac.id/tentang/



You May Also Like

0 komentar