Singgah
Siang itu, dalam perjalanan ke Cikampek yang berada di timur kabupaten Karawang Barat, terasa seperti membuka halaman lama yang belum sempat saya selesaikan. Jalanan yang membelah hamparan sawah membuat saya diam cukup lama, bukan karena kehabisan kata, tapi karena di hadapan mata, kesederhanaan punya bentuk yang begitu jelas: saya membayangkan petani yang menunduk di bawah matahari, anak-anak berlari di pematang, dan tumpukan karung beras yang seakan bicara tentang kerja keras yang tak banyak menuntut.
Namun hari ini, tak ada lagi gemerisik batang padi yang menunduk berat oleh bulirnya, hanya menyisakan tanah yang mulai retak. Semua gabah telah dituai, disimpan dalam karung-karung besar yang menunggu perjalanan berikutnya. Jika tak memikirkan betapa repotnya membeli sekarung gabah, karena harus melalui beberapa proses lanjutan seperti digiling, pemutihan dan grading untuk memisahkan beras pecah dan utuh, mungkin rasanya sudah saya beli untuk dibawa pulang. Kerepotan yang berkecamuk dalam pikiran, membuat saya mengurungkan niat. Ahaha.
Di kota besar seperti Jakarta, kita sering membayar mahal untuk sebuah kenyamanan; bertandang ke salah satu Desa di Cikampek, saya belajar bahwa murah bukan berarti murahan, kadang, justru di sanalah nilai kehidupan disembunyikan. Satu-satunya yang saya pikirkan adalah rasa tenang. Sayangnya, di sana panas. Saya suka pedesaan dengan hawa yang lebih dingin. Begitu impian yang selalu saya inginkan.
Saya singgah ke sebuah kedai dari selesai singgah ke rumah kawan semasa kecil. Di hadapan saya, ada kawan yang terlihat banyak bicara dengan pengalaman memahami karakter seseorang, seolah membuka pelan-pelan takdir hidup yang sekuat tenaga saya sembunyikan. Sedangkan kawan lain, memiliki sifat tenang, setiap kalimatnya seperti hasil pertimbangan panjang antara logika dan rasa. Kulit mereka seperti kopi dan susu. Jika digabungkan mungkin bisa jadi cappucino. Ahaha. Jika berdampingan, rasanya dunia jadi lebih hangat. Ah, andai semua perbedaan bisa sesederhana itu: berpadu, bukan bersaing, dan justru menghadirkan harmoni yang manis. Di antara mereka berdua, saya melihat dua cara manusia berbeda memaknai hidup—ada yang ringan dan spontan, ada pula yang dalam dan tenang.
Hari itu, kami tak hanya sekedar bertandang ke rumah teman lama, atau memetik kisah dari butir padi, tapi juga belajar bahwa kesederhanaan kadang tak butuh dijelaskan. Ia hanya perlu dilihat, dihirup, dan diam-diam, disimpan dalam dada. Bercengkrama di kedai sederhana, menyesap kopi dan mengunjungi surau kecil untuk menunaikan kewajiban, seolah menjadi perjalanan paling mahal.
Ada satu waktu dalam hidup di mana saya mulai bertanya, “Apa yang bisa saya pelajari dari sebuah pertemuan hari ini?” — sharing perihal hidup membuat saya mematangkan banyak pikiran baru. Dan di situlah, barangkali, letak kedewasaan yang sesungguhnya. Saya kini paham, setiap manusia sedang menanggung sesuatu, sekecil apa pun itu, dan caranya bertahan ditentukan oleh karakternya sendiri. Kadang, kita merasa dunia terlalu berat di pundak, hingga lupa bahwa ada bahu lain yang lebih lelah memikul beban yang lebih besar. Hidup ternyata bukan tentang siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling bisa menerima.
Kita sering membesar-besarkan luka, padahal di luar sana ada yang masih berjuang hanya untuk sekadar bertahan hidup. Ada yang resah karena rumah impian tak kunjung rampung, sementara orang lain bahkan tak tahu di mana akan terlelap tidur malam ini. Ada yang bersedih kehilangan rejeki, sementara di luar sana, lebih banyak orang yang kehilangan harapan.
Lalu saya belajar satu hal: ikhlas bukan berarti menyerah, tapi memahami bahwa tidak semua hal harus dimenangkan. Kadang, cukup dengan tenang berjalan lagi, sambil berkata pelan pada diri sendiri — “Hidup ini memang tak selalu mudah. Ada hari-hari di mana langkah terasa berat, dan dunia seakan menutup diri dari segala arah tapi jika hari ini kita masih bertahan sampai di sini, apakah itu sudah lebih dari cukup."
Mungkin kita belum sampai pada tujuan yang diimpikan, tapi kita telah melewati badai yang tak sedikit. Luka boleh singgah, air mata boleh jatuh, tapi hati yang terus memilih bertahan, itulah bukti bahwa kita masih hidup dengan penuh harapan. Karena kadang, cukup bernapas dan melangkah perlahan pun sudah menjadi bentuk keberanian yang paling indah. Dan rejeki yang hilang, kelak akan terganti bukan sekadar yang kembali, tapi yang berlipat dan lebih berarti. Setiap rezeki dan takdir selalu punya cara indah untuk kembali.
0 komentar