My Story

Virtual Diary

Creative Blog

Aku Tak Ingin Menangis Lagi di ketiak Om Hardjo

by - Oktober 19, 2012



Ba’da isya, aku lekas mengambil wudhu di sebuah mushola kecil dekat stasiun. Menengadah ke langit sebentar, sekedar melihat 1, 2, 3 bintang di antara hamparan langit abu-abu pucat, hari ini banyak doa yang ingin dipanjatkan kepada Tuhan dengan segera. Seperti biasa, aku bertemu dengan pak haji Khosim seorang kakek tua berjanggut putih berumur 87 Tahun. Ia selalu mengelus kepalaku seperti bayi sembari memberikan wejangan “Berdoalah nak, karena setiap doa yang hendak kau panjatkan Allah akan senantiasa menuliskannya sebagai bentuk permohonan yang suatu saat ia kabulkan” aku cepat mengangguk lalu tersenyum dan memperpanjang doaku.

Selesai isya, aku kembali ke stasiun. Aku tinggal di sana, di antara lorong gerbong kereta tempatku tidur. Pria lusuh ini hanya anak jalanan yang di asuh oleh Om Hardjo, di sini banyak juga teman sebayaku sekitar 20 an lebih, 5 diantaranya seumur denganku rata-rata 12 Tahun. Panggil saja aku Andi, Om Hardjo bilang aku anak Bi Sumi penjual kue cucur yang meninggal karena sakit malaria sewaktu aku berumur 3 tahun, om Hardjo yang merawatku hingga sekarang, ia selalu berujar seperti itu, tapi aku yakin dia hanya berbohong. Aku bahkan benci om Hardjo, lelaki brewok dengan Tato di sekujur tubuh yang setiap hari berjudi dan mabuk-mabukan.

Jam 1 malam, aku mendengar langkah kaki. Langkah kaki yang berat seolah diseret paksa. Lelaki berkaos hitam dengan celana jeans robek di bagian dengkul sebelah kanan, di saku kiri tergantung rantai dengan ujungnya bergambar jangkar kapal. Aku tahu itu pasti Om Hardjo, walau suasana gelap aku masih dapat mengenalinya dari rantai bergambar jangkar kapal itu. Ia mendekap Doni yang mulutnya di sumpal kain. Tangan serta kakinya di ikat tali tambang. Om hardjo bersiul-siul lalu menanggalkan semua yang ia kenakan. Jari-jari kasarnya menciumi tengkuk Doni teman sebayaku yang setia menjadi pengamen di kereta api sebagai mata pencaharian yang harus kami setorkan kepada Om Hardjo. Lagi-lagi sehabis giliran Doni, keesokan harinya pasti aku yang akan seperti ini. Aku muak! Aku melihat jelas Om Hardjo menciumi bringas tanpa belas kasihan, menjelajahi tubuhnya tanpa ampun. Doni menangis, tangisannya membuat seluruh darahku mendidih.

Aku tahu malam ini Om Hardjo mabuk berat karena kalah berjudi sore tadi. Aku meletakkan 5 buah botol kosong sore tadi. Kemudian “Praak” botol itu kini tepat mengenai kepala Om Hardjo, keningnya robek, lalu aku segera menusuk dadanya tepat ke arah jantung dengan pecahan botol setelah kupukulkan kepalanya terlebih dahulu. Ia roboh, aku yakin ia telah mati. Aku lari sekuat tenaga, seluruh tubuhku gemetar, aku berlari tak berhenti sampai bertemu pagi, di benakku hanyalah beribu-ribu kali mengucapkan kata Maaf.


“Maafkan aku..Tuhan, aku hanya tidak ingin menangis lagi di ketiak Om Hardjo” 



End... 



You May Also Like

0 komentar