Istana Air Taman Sari, Oase di Langit Jogja yang Terik
Hari ini, saya mencoba membuka kembali kenangan mengenai sebuah perjalanan yang belum sempat saya tulis, mengembara ke sana sudah lewat setahun silam, namun ceritanya masih melekat di kepala hingga sekarang.
Kegabutan siang-siang, kebanyakan menyesap kopi, justru melahirkan sebuah tulisan yang saya cicil kalimatnya hingga malam hari, setiap ide menulis muncul - saya anggap ini berkah.
Walau di saat menulis beberapa paragraf diganggu Mbak Lidya Fitrian, wanita paling baik yang membuat saya tak segan untuk cerita banyak hal padanya tentang kehidupan dan rela diganggu kapanpun waktu yang ia mau. Sebab saya juga percaya, bahwa bertemu dengan orang baik adalah bentuk anugerah.
Beberapa notif masuk di baki ponsel. Saya berhenti menulis, tersenyum sebentar lalu lekas membuat tergelitik untuk bolak-balik antara membalas pesan singkatnya di WhatsApp lalu meneruskan menulis. Saya tidak ingin wanita berkacamata itu, menunggu.
****
"Ke Jogja takkan lengkap jika tidak berkunjung ke Keraton, Alun-alun, Istana Air Taman Sari dan Jalanan Malioboro. Ini rencana kita mau kemana dulu? Ada ide? ujar saya melontarkan pertanyaan sambil melihat-lihat lokasi terdekat lewat bantuan Google Maps.
Saya tak mendapatkan jawaban apa-apa kecuali bunyi kunyahan keripik kentang anak-anak dan suami yang sibuk memijat betisnya sendiri. Lelah membuat mereka sedikit terkapar dan menikmati waktu istirahat serta mendewakan kasur hotel yang putih bersih itu.
Kami memang tak pernah menginjakkan kaki ke daerah Jogjakarta. Berbekal pengetahuan minim area wisata dan buta jalanan menuju ke sana, namun nekat memutuskan pergi. Bahkan ada kutipan teman yang bilang, jangan pernah mati dulu sebelum mengunjungi Jogjakarta dan Bali. Dibantu cuti panjang serta sedikit uang tabungan, akhirnya sampai juga walau diselingi drama selama perjalanan.
Hal paling teringat tiap perjalanan melalui jalan darat, bagi saya justru ketika menikmati beribadah di banyak tempat dari Desa maupun Kota. Moment bersyukur tiap sujud dengan lokasi yang berbeda, membuat saya merasakan nikmat syukur lebih lama dari biasanya. Di saat ini juga, waktu yang pas untuk meregangkan otot-otot kaki dan pinggang karena lelah duduk selama perjalanan. Dulu, saya sempat mengabadikan setiap surau dan masjid yang kami kunjungi satu-satu, namun karena sudah lama sekali, hasil jepretannyanya sudah terhapus dari galery ponsel. Jika saya kembali mengingatnya, saya selalu mengeluh "Ah... sayaaang sekaliii".
Kamar Hotel Neo+ Awana Jogjakarta |
Lobby Hotel Neo+ Awana Jogjakarta |
Saat memasuki Istana Air Taman Sari kami disambut oleh salah satu abdi dalem, saya lupa namanya. Kepala hanya mengingat senyumnya yang ramah, perawakan tubuh gempal paruh baya, berkulit sawo matang, namun tatanan bahasanya sungguh halus dan sopan. Banyak petikan-petikan nasehat yang akhirnya kami bawa pulang, untuk menjadi keluarga yang harmonis, saling mencintai dan selalu ingat kepada Tuhan.
Sebelum membawa kami berkeliling, ia sempat memproklamirkan bahwa ia adalah salah satu abdi dalem di sini, abdi dalem dan orang-orang yang tinggal di daerah sini kebanyakan memiliki silsilah dan keturunan dari selir-selir raja.
"Ia kemudian menceritakan kisah panjang dari beberapa keturunan keluarganya yang tetap saja saya tidak begitu paham"
Panjang lebar ia mencoba menerangkan hikayat Taman Sari ketika itu. Taman Sari dulunya masih berfungsi sebagai tempat tetirah raja bersama permaisurinya dan anak-anaknya, ada banyak sekali bunga-bunga terawat bermekaran indah jika kita membayangkannya ketika itu. Ia pun lalu menunjukkan ke arah gapura besar mirip gerbang dengan ukiran-ukiran indah tempo dulu.
Setiap malam bulan purnama, Sultan selalu duduk di balkon gapura untuk melihat pertunjukan tari putri-putrinya. Tempat saya berdiri persis saat itu, dikisahkannya adalah tempat putri-putri Sultan biasa menari. Putri-Putri Sultan, memang diharuskan pandai menari, sedangkan putra-putranya harus menjadi ahli pedang, memanah dan berkuda.
Gamelan dan alat musik biasanya berada di sana, ia menunjuk salah satu ruangan di bawah gapura, ruangan ini memang dirancang khusus membuat suara alat musik menjadi lebih besar bak studio rekaman, fungsinya seperti speaker manual buatan manusia melalui pantulan-pantulan dinding itu. Kami pun lekas mengangguk.
Saya melirik ke arah anak-anak, mereka antusias mendengarkan dan terlihat tak sabar menunggu kisah apa lagi yang kelak diceritakannya. Sungguh, kami seolah tersihir mendengarkan kisah dongeng yang nyata.
Jika tak ada abdi dalem, mungkin kunjungan kami kemari, hanya sekedar melihat seonggok bangunan lama tak berpenghuni, namun dengan cerita dibaliknya, saya merasakan aura yang berbeda. Merasakan bagaimana dulu putra-putri Sultan melatih tariannya agar terlihat menarik dan gemulai, merasakan kehangatan yang terjalin dari keluarga kerajaan, dan membayangkan bagaimana prosesi istri sultan mandi di istana air.
Saya sadar betul, bahwa pendidikan tak hanya didapat dari bangku sekolah saja, namun dari setiap perjalanan dan cerita dibalik sejarahnya, akan membuat mereka kelak mencintai riwayat negeri sendiri. Ini yang ingin saya tanamkan di hati anak-anak. Bahwa pergilah berjalan seluasnya, karena tak semua orang bisa merasakan kemewahan atas hikmah dari banyak perjalanan
Kepala tak berhenti melihat sekeliling, beberapa pohon dengan buah yang menyerupai sawo disekitaran sini menjadi daya tarik lain untuk saya ketahui.
"Pak, ini pohon Kepel ya?" Saya menanyakan itu karena pernah melihat saat di kebun raya Bogor, tour guide waktu itu juga menceritakan pohon ini juga kerap ditemui di istana raja-raja. Benar saja, saya bahkan menemuinya di Istana Air Tamansari.
"Nah iya, benar. Ini pohon Kepel. Jeli sekali, baru saja saya akan menerangkan tentang pohon ini. Jadi ini adalah pohon kepel yang dulu digunakan untuk menghilangkan bau badan. Orang dulu kenapa tetap wangi dan harum karena kehidupan dan alam selalu seimbang. Mereka menggunakan pohon Kepel agar tak bau badan. Oh iya, ada satu lagi pohon jeruk kingkit" Ia kemudian memetiknya satu lalu mengucapkan kata permisi untuk memegang tangan saya sebentar dan mengoleskannya ke kuku di tiap jemari.
"Coba lihat, mengkilat kan?" Saya pandangi kuku saya sebentar, ada kilauan cahaya yang kini menghiasi dan terlihat lebih indah.
"Seperti pake kutex ya...."
"Betul sekali, dulu pohon ini digunakan sebagai kutek para putri dan istri sultan." Saya kemudian berdecak, pesona alam dari hanya dua pohon di Istana Air Tamansari ini saja, sudah membuat saya takjub.
Sebelum beranjak masuk ke dalam, kami disarankan untuk berfoto di gapura ini. Tips jika kalian ingin mendapatkan foto keluarga lengkap dengan hasil yang ciamik memang lebih baik menggunakan bantuan tour guide atau abdi dalem di lokasi yang hendak kalian tuju.
Ia juga menyarankan agar posisi kami berpindah, suami saya harus berada di sebelah kanan. Karena kepala keluarga adalah tiang tertinggi dalam keluarga. Berada di sebelah kanan adalah bentuk penghormatan dan cara istri menghormati. Maka saya pun berpindah ke sebelah sisi kiri. Anak-anak di tengah, cowok di sebelah kanan, anak perempuan tertua tetap berada di sisi kiri samping saya.
Cekrek...
Satu jepretan dan senyum paling manis yang kami punya menjadi pertanda bahwa kita -- pernah ke sana.
Saat memasuki Istana Air Tamansari, saya melihat ukiran barongsai pada gapura tengah. Sebutannya kalamakara yang berarti tolak bala, berfungsi untuk menghalau hal-hal buruk. Jaman dulu kepercayaan dan hal mistis demikian memang kerap erat dalam kehidupan.
Gemericik air yang berasal dari dua kolam di hadapan kami, memberikan nuansa sejuk di langit Jogja yang terik, cerah dan biru. Abdi dalem langsung bercerita kembali tentang ritual melempar bunga. Saya pernah mendengarnya juga mengenai hal ini.
Istana Air ini adalah lokasi dimana keluarga Sultan menghabiskan waktunya untuk senang-senang. Saya berpikir mungkin istilah jaman sekarang semacam piknik ke suatu villa yang kerap Sultan singgahi bersama istri-istrinya, serta menjadi bulan madu baginya untuk memilih selir mana yang akan mendapatkan kesempatan untuk seharian bermesraan bersama Sultan.
Konon pada masa kejayaan Kerajaan Islam di Mataram, sebelum adanya kesetaraan gender dan pengetahuan monogami, sultan hanya diperbolehkan mempunyai maksimal empat permaisuri dan selir-selir. Kebijakan melempar bunga, lahir untuk menjaga emosi antar istri-istrinya dan menampik bahwa Sultan mengumbar nafsu.
Menarik ya... hehe...
Saya membayangkan bagaimana para selir berlomba-lomba ingin tampil paling cantik agar dapat menggugah hati Sultan, rasa ingin dipilih menjadi salah satu yang beruntung mendapatkan kesepakatan bermesraan dengan Sultan seharian penuh.
Di hadapan saya terdapat dua kolam, rupanya kolam ini memiliki nama dan fungsi yang berbeda. Umbul Panguras (kolam khusus untuk istri-istri) dan Umbul Pamuncar (khusus untuk putri-putri)
Kami pun lekas diajak ke bangunan lantai dua, bak sebuah menara untuk melihat dua kolam ini lebih luas dan jelas. Di sinilah biasanya Sultan berdiri dan melakukan sayembara lempar bunga kantil ke Umbul Panguras.
"Pengawal Sultan biasanya berdiri di sana, sedangkan Sultan berdiri di lokasi ini"
"Pengawal Sultan bisa melihat istri sultan mandi dong?" ucap saya penasaran.
"Bangunan ini sudah dirancang sedemikian rupa, jika berdiri di tempat pengawal, yang terlihat hanyalan kolam Pamuncar, untuk mengawasi putri-putri raja mandi. berbeda dengan lokasi berdiri sultan, maka akan biaa terlihat secara jelas dua kolam itu"
Saya pun berpindah posisi berdiri untuk memastikan kebenaran teorinya"
"Eh, iya bener.. cuma terlihat kolam pamuncar, Oh iya mau tanya lagi. Jika raja sudah memutuskan pilihannya, kemudian melemparkannya bunga kantil dari sini. Jaraknya dari sini kan jauh, apa pasti akan jatuh ke pilihan yang tepat? Bisa saja jatuhnya melenceng ke posisi istri yang lainnya?"
"Konon, rata-rata Sultan dianugerahi dengan ilmu yang sakti mandraguna. Lemparan bunga kantil Sultan ke Umbul Panguras tidak akan pernah meleset. Bunga selalu jatuh ke pilihan yang tepat. Siapapun istri sultan yang mendapatkan bunga ini, dialah yang akan menemani sultan saat itu juga. Sedangkan istri-istri lain beranjak dari kolam berganti pakaian dan kembali ke keraton. Selanjutnya, istri sultan yang terpilih dibawa ke private pool atau biasa disebut Umbul Binangun."
Saya kemudian mengangguk...
Umbul Binangun |
Di samping Umbul Binangun ini juga ada kamar Sultan, ranjang yang terbuat daei bambu yang konon seperti spa, akan mengeluarkan wangi-wangian dan hawa hangat.
Dari Umbul Binangun kami lekas beranjak dan berkeliling ke samping sisi bangunan, "Biasanya kapal Sultan bersandar di sini. Istana Air Tamansari ini dulunya dikelilingi danau, semacam kastil di pulau buatan dilengkapi taman dan kolam" sambil ia menunjukkan arah sekeliling
Sekarang danau sudah tidak ada lagi, sepanjang mata yang saya lihat, hanya berisi atap-atap rumah penduduk.
Lelah berkeliling kami diajak mampir ke rumah abdi dalem, mengobrol banyak hal, ia pun memperlihatkan peta Istana Tamansari tempo dulu.
Setelah belajar banyak, mendalami kisah, kami pun berpamitan. Segenggam pelajaran baru mengenai bangunan dominan berwarna cream ini, didesain secara cantik dan klasik seolah bagian dari oase di langit Jogja yang terik, disamping kisahnya benar atau tidak, Allahualam.
Jangan lupa jika ke sini mampir juga ke Sumur Gumuling, sebuah bangunan yang digunakan sebagai masjid untuk tempat ibadah Raja dan keluarganya, mampu menjadi spot foto menarik yang pantas untuk kalian kenang.
Setiap cerita adalah bagian dari sikap dan cara kita melewati waktu, bagian dari keindahan dan kerumitan yang dikumpulkan kemudian dikenang, bagian dari fase kehidupan yang melekat kuat. Hanya segelintir orang yang berusaha untuk menuliskannya kembali. Menulis adalah bagian dari ucap syukur, saya merasa menjadi manusia yang beruntung, sebab ketika saya tak ada lagi di dunia, tulisan saya akan hidup selamanya.
Terimakasih sudah menyempatkan membaca, salam hangat dari sini.
Dessy Achieriny
5 komentar
I also love this place. It’s beautiful and very unique. Looks like you are doing a lot of editing on the photos.
BalasHapusMemang bagus banget tempatnya. Tapi pas Saya kesini dulu semacam aura mistis gimana gitu. Tapi pengalaman menarik mengunjungi tempat ini
BalasHapusIstana Air Tamansari. Masya Allah, kisah yang disimpan dan diwariskannya demikian mendalam ya. Saya sampai berimajinasi sendiri. 🥰
BalasHapusSeumur-umur aku di Jogja belum pernah ngalamin ke Umbul Binangun ada airnya, kl ke sana pas kering mulu huhuhu...
BalasHapusTaman Sari ini emang bagus banget dan bersejarah sih. Dulu kalau liburan kuliah dan jalan2 ke Jogja aku pasti selalu kesini. Sekarang udah lamaaa banget nggak ke Taman Sari, udah banyak yang berubah belum ya?
BalasHapus