Sedekah Daging dan Makna Kurban: Perjalanan Rasa Bersama Dompet Dhuafa
Saya masih ingat pertama kali menyaksikan kurban di kampung halaman. Bau tanah basah bercampur darah yang baru mengalir, suara hewan kurban bersahutan, anak-anak kecil yang duduk berkerumun di pinggir lapangan, dan suara takbir yang terdengar berat namun menenangkan. Waktu itu, aku masih terlalu kecil untuk benar-benar memahami maknanya. Yang saya tahu, setelah Idul Adha akan ada gulai daging di rumah atau sate buatan ayah yang kerap menjadi panitia kurban. Tentu saja hal itu sudah cukup membuat saya bahagia.
Semakin dewasa, hidup menjadi penuh target dan deadline. Idul Adha menjadi sekadar hari libur nasional yang saya tandai di kalender digital, bukan momentum spiritual yang ditunggu-tunggu. Kurban, yang dulu begitu sakral, perlahan menjadi rutinitas administratif: transfer ke lembaga, lalu menerima laporan penyembelihan lewat WhatsApp.
Sedekah Daging: Ketika Sepotong Daging Menghangatkan Banyak Hati
Di satu pagi Idul Adha, semua mengubah segala pemikiran saya. Sebuah desa kecil di pinggiran Jogjakarta, tempat saya juga pernah menjadi relawan dalam sebuah program pemberdayaan masyarakat. Hari itu, saya berdiri bersama anak-anak yang matanya bersinar saat mendengar akan ada kurban. "Kambing-nya beneran buat kita, kak?" tanya salah satu dari mereka sambil memegangi tangan ibunya yang tampak tak percaya.
Saya tidak langsung menjawab. Tenggorokan seolah tercekat. Mereka bukan hanya senang karena akan makan daging — sesuatu yang mungkin hanya mereka nikmati setahun sekali — tetapi karena ada yang mengingat mereka. Ada yang mengirimkan tanda cinta, meski tak mengenal nama mereka.
Saat hewan kurban diturunkan dari mobil, seluruh warga desa keluar. Beberapa lelaki membantu menarik tali, anak-anak bersorak, dan para ibu tersenyum malu-malu dari balik pintu rumah. Tak ada yang terburu-buru. Semuanya dilakukan dengan pelan, penuh rasa. Bahkan penyembelihan pun dilakukan dengan tenang, disaksikan bukan dengan rasa takut, tapi haru yang sunyi.
Sore harinya, daging dibagi rata. Tidak ada yang merasa lebih berhak. Seorang nenek tua memeluk sambil berbisik, “Terima kasih sudah kirimkan kurban ini. Tuhan tahu kami lapar, tapi kadang lebih lapar lagi perasaan dilupakan.”
Kata-katanya menempel erat di kepala, seperti stiker yang tak bisa dicabut. Saya kembali diingatkan bahwa kurban bukan soal siapa yang memberi dan siapa yang menerima. Tapi tentang bagaimana rasa syukur itu bisa menyeberangi batas peta dan menyentuh hati-hati yang selama ini mungkin tertutup karena luka dan lupa.
Sejak hari itu, kurban bagi saya, bukan lagi soal menyisihkan rezeki. Tapi tentang memilih untuk hadir. Bukan hanya dalam bentuk daging yang dikirim jauh ke pelosok, tapi dalam makna bahwa kita tidak pernah sendirian di dunia ini.
Di Jakarta, di tengah riuhnya lalu lintas dan notifikasi pekerjaan, saya kembali membuka lembar-lembar dokumentasi perjalanan itu. Melihat wajah anak-anak yang tertawa lebar karena sepiring sop daging kurban, hal sesederhana itu saja membuat saya haru. Tidak sedih, tapi lega. Karena saya tahu, kurban bukanlah akhir dari sebuah ibadah. Ia adalah awal dari keterhubungan yang tulus antar manusia.
Melihat Lebih Dekat DD Farm Pundong: Lumbung Kebaikan Kurban
Flashback beberapa waktu lalu, ketika berkunjung ke salah satu kandang utama milik Dompet Dhuafa, menjadikan sebuah cerita paling berkesan dalam hidup saya. Perjalanan menuju DD Farm Pundong, Bantul, Yogyakarta membuat saya mengenal banyak teman baru sebagai salah satu peserta voluntrip HeartVenture, perjalanan yang menenangkan dengan membuka jendela dan membiarkan angin mengacak rambut dan pikiran. Sawah-sawah terbentang, dan dari kejauhan, suara kambing bersahutan dengan cericit burung pagi.
Sesampainya di sana, kami disambut hangat oleh para peternak. Kandang-kandang bersih berjajar, dan aroma rumput kering bercampur bau tubuh ternak yang khas menyeruak tanpa ditutup-tutupi. Tak ada yang disembunyikan di sini. Semua ditata dengan rapi dan transparan—dari sistem penggemukan, pemberian pakan, hingga proses pemantauan kesehatan hewan.
Saya berjalan pelan, menatap satu per satu domba yang akan menjadi bagian dari ibadah kurban. Mereka bukan sekadar hewan, tapi utusan rasa syukur dan cinta dari orang-orang yang memutuskan berbagi melalui jalan sunyi bernama kurban.
Di salah satu sudut kandang, seorang bapak peternak berkisah, “Dulu, saya hanya buruh harian. Tapi di sini, saya diajari merawat, menghitung pakan, bahkan menabung. Kurban di Dompet Dhuafa bukan cuma menghidupi penerima, tapi juga kami yang ada di balik prosesnya.”
Saya tertegun. Betapa kurban sering hanya dipandang dari ujung pisau dan suara takbir. Padahal, ia bermula jauh sebelum itu—di peluh peternak, di rumput yang disabit, di tangan-tangan yang membersihkan kandang. Ada ekosistem kehidupan yang dibangun dari satu niat baik: berbagi.
Hari makin siang ketika kami diajak melihat proses digitalisasi sistem ternak dan bagaimana Dompet Dhuafa menjaga amanah pekurban dengan sepenuh hati. Setiap hewan yang dikurbankan akan dilacak, didokumentasikan, dan dikirim ke titik-titik distribusi yang telah dipetakan dengan cermat: dari pelosok pedalaman, daerah rawan bencana, hingga komunitas marginal di perkotaan. Kurban bukan hanya tentang daging. Ia adalah penyambung rasa bahwa kita ini satu.
Bahkan menurut Muhammad Zahron, Pimpinan Cabang Dompet Dhuafa Yogyakarta saat itu, menyampaikan bahwa DD Farm telah menyiapkan lebih dari 1.600 hewan kurban untuk program Tebar Hewan Kurban (THK) tahun ini. Hewan-hewan tersebut merupakan hasil ternak dari DD Farm yang dikelola dengan pendekatan philanthropreneur, memanfaatkan dana zakat, infak, dan wakaf untuk pemberdayaan masyarakat serta memastikan hewan kurban yang disalurkan sehat dan sesuai syariat.
Ayo Berkurban, Tebar Manfaat Bersama Dompet Dhuafa!
Tahun ini, jika kalian kembali menunaikan kurban. Niatkan bahwa kurban bukan karena mampu saja, tapi karena tidak ingin kehilangan rasa dan makna kasih di dalamnya. Jika boleh memilih, rasanya lebih baik menitipkan kurban melalui Dompet Dhuafa. Karena saya percaya, di tangan mereka, kurban bukan sekadar distribusi daging, tapi distribusi harapan. Dengan Kurban di Dompet Dhuafa bukan hanya sampai ke pelosok negeri, tapi juga menyentuh bagian terdalam dari yang menerima — dan yang memberi. Yuk, jadikan momen Idul Adha lebih bermakna dengan berkurban melalui Dompet Dhuafa. Tak hanya menunaikan ibadah, kurbanmu juga akan menjangkau mereka yang selama ini jarang merasakan daging — dari pelosok nusantara hingga wilayah krisis di mancanegara. Prosesnya amanah, transparan, dan penuh keberkahan. Mari tebar kebaikan yang meluas, cukup dengan satu hewan kurban, kamu bisa hadirkan senyum di banyak wajah.
0 komentar